Diceritakan
bahwa Prabu Brawijaya (Raja Majapahit) yang terakhir memiliki seorang
permaisuri dari Negeri Cempa bernama Dwarawati dan juga memiliki seorang
isteri selir. Keduanya sedang mengandung. Dalam mengisi waktu luang dan
menunggu kelaiharan sang bayi keduanya sering bermain dan beristirahat
di taman kerajaan. Pada suatu hari menjelang masa-masa melahirkan sang
Permaisuri memberi pesan kepada sahabatnya yang juga tak lain dan tak
bukan adalah isteri selir sang Raja Brawijaya. Meski mereka hidup
sebagai dua isteri yang dimadu namun mereka hidup rukun dalam
singgasana kerajaan Majaphit.
Isi pesan dari sang
permaisuri kepada isteri selir tersebut adalah jika kelak Sang
Permaisuri melahirkan Bayi perempuan sedangkan sang isteri selir
melahirkan bayi laki-laki maka kelak jika telah dewasa akan mereka
jodohkan sebagai pasangan suami isteri, sang isteri selirpun
menyetujuinya.
Alkisah pada saat sang Permaisuri melahirkan
dari beliau terlahir seorang bayi mungil perempuan, begitu pula sang
isteri selrpun juga melahirkan bayi mungil berjenis kelamin pria,
rupa-rupanya yang meraka harapkan dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa,
tampak wajah keduanya menampkkan raut kebahagiaan melihat harapan mereka
terkabul.
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi
tahun telah terlampaui; Kedua bayi itupun telah tumbuh menjadi dua insan
dewasa gagah perkasa dan cantik molek, keduanya hidup rukun dan Nampak
dari keduanya telah terjadi jalinan asmara antara keduanya. Melihat
masa-masa kedewasaan itu telah tiba maka Sang Permaisuripun akan
memenuhi janjinya untuk menjodohkan kedua insan tersebut dan akan segera
dinikahkannya.
Mendengar rencana sang Permaisuri sang raja
terkejut, marah dan sekaligus tidak menyetujui rencana. Apa boleh
dikata, sang permaisurupun tidak bias berbuat banyak dengan apa yang
telah diputuskan oleh sang Raja. Keputusan sang Rajapun telah bulat
tidak akan melaksanakan pernikahan kedua anak kandungnya itu karena itu
sama dengan menentang adat maupun aturan kerajaan.
Mendengar situasi kasak -kusuk di kerajaan, apa lagi bahwa hubungan
mereka tidak direstuai oleh sang raja, maka tanpa sepengetahuan dari
pihak kerajaan sang pangeranpun memutuskan untuk keluar/ melarikan diri
dari kerajaan Majapahit dengan tujuan yang tidak jelas bersama sang
kekasihnya yang tak lain adalah saudara kandungnya sendiri meski
berlainan ibu.
Dalam pelariannya beliau bertemu dengan
seseorang yang mengaku bernama Ki Ageng Buyut Ngaren, ya Kiai Bodho juga
dikenal sebagai Kiai Maja di negeri Mojo. Diceritakan pada saat beliau
betemu dengan Kiai Mojo sudah menjadi pasangan suami isteri dengan nama
Raden Prawirayudha. Pada saat itu juga Kiai maja dengan senang hati
menerima kedatangan keduanya meski dia tidak mengetahui dari mana dia
bersalal dan dari kturunan mana, namun dalam benaknya Kiai Mojo sudah
menyangka bahwa tamunya bukanlah orang sembarangan. Didalam rumah
tangganya Raden Prwairayudha diperlakukan tak ubahnya seorang petani di
pedesaan dan melakukakan aktifitas layaknya seorang petani muda yang
rajin dan tekun bekerja diladang garapannya.
Dengan
perginya sang Pangeran dari kerajaan Majapahit maka suasana di Kerajaan
majapahit sangatlah gempar, Sang Raja pun segera membentuk tim/utusan
untuk mencari sekaligus menjemput dimana keberadaan sang Pangeran.
Utusan kerajaanpun segera melaksanakan tugas dan menyebar ke segala
penjuru untuk mencari sang Pangeran.
Salah satu utusan itu
tibalah di Negeri Maja dan bertemulah dengan Kiai Maja dan msyarakat di
negeri Maja sambil menjelaskan maksud kedatangan mereka. Mendengar
penjelasan utusan dari Majapahit itu maka dengabn senang hati Kiai Maja
menjelaskan bahwa dia juga kedatangtan sepasang suami isteri seperti
yang dijelaskan oleh utusan kerajaan itu sekaligus memberitahukan bahwa
tamunya bernama Raden Prawirayudha.
Yakin dengan apa yang
dijelaskan oleh Kiai Maja bahwa yang disebutkan tadi adalah benar-bnar
putra Raja Brawijaya yang meraka cari maka utusan segera bertolak ke
Kerajaan Majapahit dan berpesan kepada Kiai maja agar kedua anak itu
diasuh dengan baik dan suatu saat dia akan kembali lagi bersama sang
raja untuk menjemput kedua putra mahkota tersebut.
Sesampainya
di Kerajaan utusan segera menceritan apa yang ditugaskan kepadanya telah
menemukan hasil bahwa keberadaan sang Pangeran telah jelas
keberadaannya yaitu di Negeri Maja (Sekarang masuk Desa Punung). Betapa
Senang dan gembiranya hati sang Raja mendegnar penjelasan utusannya itu,
dalam waktu yang tidak terlalu lama sang Rajapun segera turun ke
lapangan bersama rombongan untuk menjemput sang Pangeran kembali ke Puri
Kerajaan majapahit.
Pada suatu hari ketika Raden Prawirayuda
beserta isterinya sedang menyiangi padi di ladang dihampiri oleh kiai
Maja dan mengatakan bahwa Ayahanda Prabu Brawijaya telah datang dan
ingin segera bertemu dan menjemputnya pulang ke Kerajaan Majaphit, maka
Raden Prawirayuda pun segera mengatakan agar Kiai Mojo untuk segera
pulang dan melaporkannya bahwa dia akan segera mengikuti pulang untuk
menemui Sang Raja Ayahnda tercinta Prabu Brawijaya dan dihaturkan Salam
Hormatnya terhadap beliau.
Namun apa yang dikatakan Raden
Prawirayudha iti hanyalah taktik belaka, dengan kepulangan Kiai Ageng
Maja tersebut maka Raden Prawirayuda justru menggunakan kesempatan itu
untuk bersembunyi dan berpindah tempat karena beliau tidak ingin bertemu
dengan sang Raja Brawijaya.
Tidak tahan lama-lama menunggu di
rumah Kiai Ageng Maja Prabu Brawijaya menugaskan kembali utusan untuk
menjemput Raden Prawirayuda di Pategalan yang telah diunjukkan tadi,
namun apa yang terjadi ternyata utusan kerajaan Majaphit itu tidak bisa
menmukan Raden Prawirayudha disitu.
Akhirnya Sang Raja bersama
rombongan kerajaan bersama-sama mencarai tempat persembuniannya melewati
jurang, perbukitan dan sungai-sungai, Salah seorang abdi kerajaan
bernama Demang Prawiramantri melihat seseorang yang sedang memancing
ditepi sungai, setelah diamati secara sembunyi-sembunyi dan menyamar
sebagai petani ternyata orang tersebut tidak lain adalah Raden
Prawirayuda.
Demang Prawira Mantri lalu mendekat serta membujuk
rayu agar sang Pangeran beserta adinda segera pulang mengikuti dia
untuk bersama-sama menghadap sang Prabu Brawijaya, Namun apa boleh
dikata Raden Prawirayudha menolak ajakan itu dan hanya berpesan Kepada
Ayahnda melalui Demang Prawiramantri bahwa dirinya belum bisa ditemui
oleh siapapun termasuk ayah bundanya karena dia sedang semedi dan baru
bisa ditemui esok harinya waktu bedhug (kira2 jam 12 siang).
Esok hari sesuai janji yang ditentukan oleh Raden Prawirayuda Sang Raja
Brawijayapun segera berkemas-kemas beserta para abdi kerajaan lengkap
dengan pengawalan bak seoarng raja menuju tempat pinggir sungai sesuai
petunjuk dari Demang Prwiramantri, Kiai Ageng Maja pun juga ikut dalam
rombongan itu, dengan harapan segera bisa bertemu ananda tercinta dan
akan segera memboyongnya ke puri kerajaan Majapahit.
Alhasil
ketika sang raja hadir dtepi sunagi tersebut keadaan sudah sunyi sepi
tiada seorangpun berada disitu, Raden Prawirayuda ternyata telah
berpindah dari pinggir sunagi tersebut menuju arah barat yaitu ke
alas/ladang “NGRETATI”.
Sang Prabu Brawijaya sangan kecewa dan
sedih akan kejadian ini karena harap untuk bertemu ananda tercintapun
tidak kesampaian, belum lagi memikirkan situasi Kewrajaan majapahit yang
ditnggalkan selama ini tentu akan semakin tidak mentu keadaannya bahkan
akan rusak pemerintahannya.
Sang rajapun memutuskan bahwa
keadaan ini sudah menjadi suratan baginya bahwa dia belum bisa
dipretemukan dengan ananda tercinta, dengan sikap bijaknya sang Rajapun
akan segera kembali ke Puri Kerajaan Majapahit untuk mengendalikan Tahta
Kerajaannya.
Sebelum meninggalkan tempat tersebut Prabu
Brawijaya berpesan kepada Kiai Ageng Maja dan masyaraktnya, agar
alas/ladang ini dinamakan “LIRABAYA” yang dalam bahasa Jawa berarti
“Angelirake Ubaya” dalam bahasa Indonesia dapat diartikan “mengingkari
janji”
“LIRABAYA” berasal dari dua kata bahasa Jawa Lira dan
Ubaya ( Lira berarti ingkar Ubaya berarti Janji). “LIRABAYA” = INGKAR
JANJI.
Sang Raja beserta para pengawalnyapun segera bertolak ke
Kerajaan Majapahit dan tetap berharap kepada Kiai ageng maja apabila
sewaktu-waktu sang Pangeran ketemu untuk segara diahapkan kepada beliau
di Puri Kerajaan Majapahit, Kiai Ageng majapun mengiyakan apa yang
diamanatkan oleh sang Raja.
Dan Semenjak itulah perladangan dan
sungai ini dijuluki sebagai ladang/ Sungai “LIRABAYA” dan masyarakat
setempat saat ini menyebutnya “NGIROBOYO”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar